Jumat, 27 Juli 2012

Wow, Andalah Bintang Panggung!


Pernahkah Anda menyadari, menjadi pendidik sama dengan menjadi bintang panggung di kelas? Pendidik adalah bintangnya, kelas adalah panggungnya. Sama seperti bintang sinetron, bintang film, bintang iklan, ada yang terkenang dan ada yang terlupakan. Sampai saat ini, ada berapa orang pendidik yang Anda ingat diantara sekian banyak pendidik yang telah mendidik Anda? Masih ingat bagaimana cara beliau mendidik? Bagaimana cara beliau memperlakukan Anda dan murid-muridnya? Adakah pendidik yang menginspirasi Anda untuk menjadi seorang pendidik? Hanya Anda yang tahu jawabannya.
Banyak pendidik yang bilang mendidik itu susah, karena yang dia harapkan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ada yang berharap dapat murid yang penurut semua, terkadang nyatanya tidak.  Ada yang berharap muridnya tenang diam mendengarkan, terkadang nyatanya tidak. Ada yang berharap muridnya sopan kepadanya, terkadang nyatanya tidak. Ada yang berharap muridnya cerdas dan rajin semua, terkadang nyatanya tidak. Bagaimana pun muridnya, Anda harus tetap ke sekolah, Anda kan gurunya.
Sama seperti murid yang tidak dapat memilih pendidik. Pendidik pun tidak bisa memilih murid mana saja yang akan diajarnya tahun pelajaran kali ini. Oleh karena itu, mulailah dengan rasa syukur diberi kepercayaan mendidik murid. Lihatlah semua murid seolah-olah ada angka 100 di keningnya. Anggap semua murid hebat. Anggap semua murid cerdas. Setiap murid punya bakat masing-masing dari sananya, tinggal kita membantu menemukannya. 

Selama saya SMA maupun kuliah saya senang sekali menonton dorama jepang tentang guru, seperti Gokusen, Great Teacher Onizuka, Scrap Teacher, Dragon Zakura, dan masih banyak lagi. Ceritanya selalu dimulai dengan murid yang nakal, kemudian karena gurunya hebat dalam “menyentuh murid tepat di hatinya”, maka yang asalnya mereka tidak suka pelajarannya, malas belajar, nakalnya minta ampun, dan segala hal jelek lainnya berubah jadi murid yang dapat dibanggakan. Bahkan bisa menjadi sangat dekat dan akrab dengan muridnya. Ada ungkapan yang mengatakan “Sebenarnya tidak ada murid yang bodoh, adanya guru yang tidak bisa mengajar.”


Dari beberapa dorama tentang guru, khususnya keajaiban seorang guru merubah muridnya menjadi lebih baik. Saya sedikit bisa mengambil kesimpulan, bahwa kuncinya terletak dari hubungan guru dan muridnya. Seperti kayu, walaupun keras, tapi jika kita pandai mengukirnya, maka akan berubah menjadi sesuatu yang cantik dan berguna.
Mau pilih jadi guru biasa, guru baik, guru killer, guru hebat, guru super, guru luar biasa, ataupun guru yang menginspirasi. Semua tergantung usaha kita sebagai pendidik. Berikut ada tips-tips singkat dan sederhana untuk menikmati profesi hebat ini! 
1.    Ayo, Senyum!
Murid paling suka melihat guru yang selalu tersenyum. Setua apapun atau setidak cantik apapun gurunya, kalau tersenyum akan bertambah kecantikannya dan kegantengannya 25%. Dengan senyum guru akan menularkan kebahagiaan pula ke murid-muridnya. Dengan tersenyum, muncullah kesan guru baik dan ramah. Udah nggak zamannya lagi pasang muka ditekuk di kelas.

            2. Bersemangat!
Siapa sih murid yang suka melihat gurunya “letoy”, malas-malasan mengajar, nggak bergairah mengajar? Selalu tampillah bersemangat!Walaupun lagi banyak masalah di rumah atau dengan kawan.  Saat bertemu murid, aktinglah selalu bahagia, selalu bersemangat. Semangat itu menular lho! Kalau gurunya semangat, muridnya pun pasti akan jadi semangat.

3       3. Kata-kata Baik!
Hindari mengeluarkan cacian, makian, ejekan, dan kawan-kawannya kepada siswa. Mulutmu harimau-mu! Kalau sekali murid sakit hati, akan susah kesananya. Bahkan mungkin dia akan membenci Anda selamanya. Bedakanlah antara humor dan ejekan.
Keluarkanlah kata-kata baik, kata-kata indah, kata-kata yang membuat murid melambung tinggi oleh sanjungan Anda. Tapi jangan terlalu mengumbar kata-kata manis, semakin sering dikeluarkan kata-kata manis, maka akan jadi hambar rasanya. Daripada bilang “Kalian bodoh, malas”, coba ganti dengan kalimat, “Muridku yang rajin, muridku yang cerdas” atau “Saya tahu kamu bisa melakukannya.”

4    4. Ide-ide Baru dan Menyenangkan
Persiapkan semuanya dengan matang dengan ide-de yang berbeda. Selalu inovatiflah mencari metode, media, strategi, taktik, teknik dalam mengajar. Cari ide-ide baru, ide-ide segar. Udah nggak zaman lagi yang namanya metode ceramah dari awal sampai akhir jam pelajaran. Kecuali Anda ingin meninabobokan murid Anda. Tiap pertemuan buatlah dan gunakanlah metode atau strategi yang berbeda dalam mengajar. Manfaatkanlah kreativitas Anda! Nggak susah lho, menjadi guru yang selalu up to date. Ada banyak buku, ada banyak video, ada banyak website tentang pembelajaran. Kuncinya, jangan malas belajar! Jangan sok pintar! Jangan takut untuk bereksperimen!

Sekian dulu, tips-tips dari saya. Semoga bermanfaat!
Sebenarnya, untuk orang-orang berbakat seperti Anda, menjadi pendidik itu tidak sulit. Cintai profesi hebat ini, temukanlah keajaibannya!

Rabu, 25 Juli 2012

Nak, Hendaklah Seperti Genteng, Janganlah Seperti Batu Pondasi


        Saya tidak pandai menulis puisi, cerpen, apalagi baca puisi. Menulis puisi hanya dalam kondisi ‘kepepet’ karena ada tugas dari guru atau dosen. Seumur hidup belum pernah membuat cerpen, kecuali kalau tulisan saya yang dibawah ini bisa disebut cerpen setengah matang dari cerita pengalaman saya mengikuti SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah 3T).  Terakhir, seingat saya, seumur hidup baru satu kali membaca puisi di depan publik, itu pun trio .Hehe..  Saya tidak menyadari, di sekolah, ya di sekolah, seorang guru bahasa Indonesia selalu diidentikkan sebagai sastrawan berjalan.
        Selasa, 15 Mei 2012 langit biru cerah membungkus Aceh Timur. Kepsek SMPN 2 Indra Makmu, Aceh Timur membawa surat undangan lomba FLS2N dan O2SN 2012 dari Dinas Pendidikan. Seluruh kota dan kabupaten di Indonesia mengadakannya, juara tingkat kota/kab maju ke provinsi, dan juara provinsi maju ke tingkat nasional. Hanya tiga lembar, namun membuat seminggu hari sesudahnya menjadi berjuta rasanya.
          Tanpa basa-basi, guru-guru diberi pilihan seusai pelajarannya. Guru bahasa Inggris diberi kedaulatan untuk mempersiapkan siswa lomba Pidato Bahasa Inggris dan story telling. Dua guru seni budaya memegang tugas memilih dan melatih siswa menari, paduan suara, dan nyanyi solo.  Guru olahraga bertanggung jawab atas lomba-lomba berbau olahraga. Guru agama diberi kepercayaan untuh melatih siswa MTQ, dan saya diberi tugas (Ya Allah, tidak terduga secepat ini) melatih siswa menulis puisi dan menulis cerpen. Sedangkan, guru bahasa Indonesia yang satunya bertugas melatih siswa membaca puisi.
 Yang menambah kejutan untuk kami adalah lombanya diadakan seminggu lagi, tanggal 22-23 Mei 2012. Apa? Berjuta rasanya, antara tegang, senang, waswas, bimbang, ragu, dan perasaan penasaran menyelimuti saya. Saya seorang guru yang baru pecah dari telurnya agustus 2011, minim pengalaman. Lomba ini pertama kalinya untuk saya.
Enam hari saya ‘godok’ mereka.. kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, bener-bener sibuk seminggu ini. Berbagai jurus metode, strategi, model pembelajaran saya keluarkan, saya ajak siswa membaca puisi dan potongan-potongan novel yang ada di LKS, buku paket, ataupun yang di perpustakaan sekolah, mendengarkan lagu kemudian mencari kata kunci dari lagu-lagu. Teknik Akrostik, menulis puisi dari huruf nama sendiri. Mengajak siswa menulis puisi di belakang sekolah, mencari yang terbaik lewat sayembara menulis puisi siswa-siswa kelas VIII.

Hari yang tidak ditunggu-tunggu, akhirnya tiba, Selasa pagi. Tidak ada guru yang mengantar ke tempat lomba, karena guru-guru yang lain mendapat giliran lomba di hari kedua. Hanya saya sendiri (yang belum lima bulan tinggal di Aceh) dan dua orang murid saya yang berangkat selasa ini. Wakepsek menitipkan kami bertiga ke rombongan SMP tetangga, yang katanya bawa mobil barang bak terbuka, dan berangkat jam 7. Jika berangkat jam 7, insya Allah jam 9 sudah sampai tempat lomba. Karena perjalanan dari sini Lebih kurang 150 km-an untuk sampai di tempat lomba, SMPN 1 Bayeun, Aceh Timur.
Kalau dibayangkan, jarak kami ke tempat lomba sama seperti jarak dari Bandung ke Jakarta 157 km. Tapi disini nggak usah takut macet, nggak ada lampu merah, jalanan sepi, jarang sekali ada orang nyebrang, yang berada di kanan kiri adalah lembu yang asik berjemur. Yang kami takuti cuma jembatan kayu patah, tanah longsor, ban pecah (sering banget kejadian, karena rusaknya jalan), truk pengangkut sawit mogok, jalanan banjir, sehingga kami tidak bisa lewat
             Untuk menghormati tuan rumah, jam 6.30 kami sudah mejeng di  warung tempat janjian berkumpul, yang berada lima menit dari lingkungan SMPN tetangga. Ternyata belum ada satupun siswa SMPN tetangga yang sudah datang. Katanya jam 7 mau berangkat?
              Jam 7.00 Aku mulai gelisah. Apa duluan berangkat saja ya? Saya tanya ke Wakepsek. “Bunda, fitri pergi duluan aja ya sama Rini dan Nurul, pake RBT (ojek) dan Jumbo (mobil besar) aja.”
“Jangan fitri. Bunda udah bayar ke Wakepsek SMP tetangga, 100ribu untuk ongkos kalian.”, kata Bunda, saya menyebut wakepsek dengan Bunda (Singkatan dari Bu Enidawati).
“Tapi Bunda, fitri takut kesiangan kalau nungguin mereka.” Sahutku cemas.
           Jam 7.30, Aku sangat gelisah, dan akhirnya kepala sekolah SMPN tetangga datang dengan keretanya (di Aceh, motor disebut kereta, sedangkan mobil disebut montor), disusul murid—muridnya yang berjalan santainya, bak pengantin Solo. Aku berteriak dalam hati “Pengen cepet  nyampe di tempat lombaaaaaa.”
        Jam 08.00an, pada kepsek SMP tetangga, saya bertanya memastikan, “Pak, dapat urutan no berapa?”. “No 40, kira-kira kebagian tampilnya siang”, jawab Kepsek SMP tetangga. Dalam hati, oh pantas, dari tadi nyantai-nyantai, soalnya kebagian panggilan akhir di hari ini, “Kalau SMPN 2 dapat no berapa?” sambung Kepsek sebelah.
“Dapat no 50, Pak.  Jadi kami kebagian lomba besok, Pak, yang hari ini Cuma menulis puisi dan menulis cerpen saja. Oh iya, Pak,  mau berangkat jam berapa? Udah jam 7.30, pak. Acara dimulai jam 9, upacara pembukaan.”
“Nanti, sebentar lagi, Bu Fit. Belum semuanya kumpul, guru-guru pendamping juga belum ada yang datang. Biasanya nggak seperti ini, biasanya diminta kumpul jam 8, mereka akan kumpul jam 8”. Kulihat, di depan warung sebelah, anak-anak SMPN Tetangga sedang asik foto-foto. “Pak, lomba menulis puisi dan menulis cerpen dimulainya jam 10.00, Pak. Sekolah bapak ikutan juga kan?” tanyaku lagi.
“Buat apa ikutan, yang menang pasti sekolah-sekolah kota, kayak SMPN 1 Peudawa, SMPN I Idi, SMPN I Peureulak, dan SMP-SMP di kota lainnya. Ikutan juga, nggak akan menang. SMP-SMP seperti kita yang di pedalaman ini cuma sebagai formalitas saja, daripada dimarahin sama atasan. Sekolah saya cuma ikut Al-maul Husna, MTQ putra, dan solo putri.”

“Pak, kok gitu? Kan belum nyoba, Pak.”
“Anak-anak sini pada males, liat mereka sudah tahu kesiangan, tapi jalannya santai gitu.”
Saya sakit hati mendengarnya, sebenarnya tidak ada murid yang bodoh, ada juga guru yang nggak bisa mengajar.
Saya kembali bertanya, “Pak, gimana dong, ini udah kesiangan.”
“Bu Fitri nggak akan dimarahin sama kepala sekolah kalau sekarang nggak jadi ikutan juga.“
“Nggak mau, Pak, saya dan murid saya akan tetap ikutan lomba. Masa menyerah sebelum perang. Siswa-siswa saya udah latihan dan persiapan. Saya bukan mengharapkan harus menangnya. Menang urusan belakangan. Yang penting udah berusaha dan udah nyoba.”
“Ya, terserah bu Fitri. Saya juga nggak akan hadir ke tempat lomba, malu udah kesiangan. Biar murid-murid dan guru pendampingnya saja yang pergi ke bayeun.”
           Saya dan murid-murid saya sudah semakin gelisah, tapi guru-guru dari SMP tetangga belum juga berdatangan ke warung ini. Niat ikutan lomba nggak sih? Saya lihat lagi jam, jam sudah pukul 08.15an. Akhirnya ada satu guru yang datang. Guru yang datang itu member kabari, kalau dua guru lainnya masih di rumahnya masing-masing.
              Akhirnya mobil bak terbuka ini berangkat untuk menjemput guru-guru di rumahnya masing-masing.  Waktu berjalan sangat cepat, tapi  aktifitas yang dilakukan masih sama. Menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.37.
             Tiba-tiba saat menunggu guru di depan rumahnya di kawasan kantor polisi Indra Makmu, seorang guru minta izin untuk balik lagi ke rumahnya karena mau ganti baju, salah kostum katanya. Terus tiba-tiba ada anak yang mau muntah. Matahari sudah semakin tinggi, tapi kami belum berangkat juga. Duduk saya seperti ada bara apinya, nggak bisa diam. Saya terus menerus melihat jam, seakan bom akan pecah sebentar lagi.
             Entah untuk ke sekian kalinya, ide ini terlintas, ya, untuk nekat ke tempat lomba bertiga saja dnegan murid-murid saya. Saya berinisiatif keluar dari mobil. Saya pergi ke jalan raya,menjauhi mobil yang berisi penuh murid-murid SMP tetangga dan dua orang murid saya yang akan ikut lomba. Pura-pura untuk nelepon.
              Pakai RBT (ojek) dari sini mahal, 20.000 untuk jarak 20-25 km dari Alue Ie Mirah ke Kota Binjai. Disini minim transportasi, nggak ada yang namanya delman, angkot, becak, dan bis. Disini cuma ada dua pilihan, ojek atau numpang.
              Doa saya terkabul. Nggak nyampe satu menit saya berdiri, lewat dan berhentilah mobil bak terbuka yang kosong penumpang dan kosong barang. Dari dalam, bapak-bapak berpeci hitam, bertanya “Hok Ja? (Hendak kemana?)”. “Kutabinjai” sahutku cepat.
“Saya dan murid-murid saya boleh numpang, Pak?”. Saya berbincang-bincang dan sangat berterima kasih kepada beliau.
             Singkat cerita saya dan murid-murid saya sudah berada di tempat lomba, setelah melalui perjalanan yang terasa tidak nyampe-nyampe, Afdelling 2-Alue Ie Mirah-Kota Binjai-Nurusalam-Idi Cut-Idi Rayeuk-Peudawa-Peureulak-Rantau Selamat, sampailah di Bayeun, tempat lomba pukul 11 kurang sedikit. Di Idi, ibukota Aceh Timur, kepala sekolah saya sempat memberikan amunisi untuk biaya perjalanan dan makan.
             Alhamdulillah, kali ini, saya tidak kelewatan lagi SMPN 1 Bayeun, Jumat kemarin, saya udah bablas hampir sampai kota Langsa, gara-gara ketiduran. Saya yang biasanya asyik tidur di kendaraan, kali ini tidak bisa tidur. Bernafas dengan tenang saja rasanya sulit (Hehehe, lebay).

            Setelah berada di tempat lomba, saya sudah lega—selega-leganya. Memang kami tidak kebagian pembukaan, pembukaannya sudah selesai, dan sudah ramai orang dimana-mana. Lomba-lomba yang tempatnya di lapangan seperti tari, padus, nyanyi, almaul husna, sudah ramai dimulai. Saya langsung ke tempat lomba menulis puisi, dan lomba menulis cerpen yang berada di dalam kelas. Duduk berjauhan.  Alhamdulillah, saat murid-murid saya masuk, perlombaan pun dimulai. Alhamdulillah, ternyata lombanya ‘ngaret’, harusnya kan dimulai jam 10.00 wib, tapi jadi jam 11, hehe.
           Saya sudah tenang. Karena sudah memastikan mereka berada di tempat imajinasinya masing-masing. Sementara mereka sedang berlomba, saya asyik keliling-keliling, melihat segala jenis lomba, mengabadikan. Sambil sesekali menengok murid saya.


         Pulangnya hujan besar. Dingin dan basah. Mobil kami cuma mobil terbuka. Sebenarnya saya dan murid-murid sempat tertinggal rombongan, hehe, tapi Alhamdulillah setelah setengah jam perjalanan kami bisa menyusul mobil rombongan. Di perjalanan pulang, saya menjadi akrab dengan siswa-siswa SMPN tetangga. Mereka mengajari saya bahasa Aceh. Saya mengajari mereka bahasa Sunda.Kami foto-foto bersama. Bertukar cerita dan bertukar pengalaman. 

              Malam yang indah dan sejuk, bintang ramai menghias angkasa Aceh.  Jumlahnya lebih banyak daripada bintang yang saya lihat di Sukabumi, Bandung, apalagi Jakarta. Di bawah langit yang berhiaskan bintang-bintang. Saya berkata ke murid saya, berbisik, “Mudah2an di antara kalian berdua ada yang menang ya, nggak apa-apa juara 3 juga.” Yang langsung di-AMINkan oleh murid-murid saya.
            Jam 8 malam, Ternyata tadi siang sampai sore, di daerah tempat tugas saya hujan besar juga, kami tidak bisa pulang, ternyata jalanan menuju SMPN 2 Indra Makmu dicegat banjir. Akhirnya saya menginap di rumah guru. Sedangkan murid saya langsung dijemput kakak-kakaknya untuk pulang ke rumahnya, karena jalan ke rumah mereka tidak dicegat banjir.
              Esoknya, rabu sore, pengumuman tiba. Perwakilan-perwakilan dari SMP dan SMA se-Kabupaten Aceh Timur berkumpul di tengah lapang, ramai sekali. Piala-piala berjajar rapi. SMPN-SMPN kota terus dipanggil juara I, juara II, juara III. Tepuk tangan dimana-mana. Saya sudah menyaksikan selama perlombaan hari ini dan kemarin, SMPN-SMPN kota tampil sangat bagus dan memukau penonton. Juara-juara lomba terus disebutkan. 
              Diibaratkan pemeran di film, sekolah kami selama ini hanya peran figuran. Sekedar lewat, sekedar ada. Tidak banyak menjuarai bidang-bidang akademik maupun non akademik. Tahun lalu sekolah kami mendapat juara II lomba membaca puisi. Setidaknya pulang ke sekolah tidak dengan tangan kosong. Kami berharap tahun ini sama atau lebih baik dari tahun kemarin.
              Menunggu pengumuman ini, saya cuma berempat. Saya dan ketiga murid saya bertahan berdiri  di lapangan menunggu pengumuman. Saya menemani tiga murid saya ini yang mengikuti lomba pidato bahasa inggris, story telling, dan lomba baca puisi. Kami berharap tahun ini menang lagi lomba baca puisi. Murid-murid yang lain sudah pulang ke rumah guru yang tidak jauh dari situ. Guru-guru yang lain menunggu di parkiran.
               Tibalah pengumuman menulis puisi diumumkan, waktu terasa berhenti, “Juara I Lomba Baca Puisi SMPN 2 Indra Makmu.”  Hening, tidak ada suara tepuk tangan. Para penonton sepertinya sangat asing mendengar nama sekolah kami.
              Alhamdulillah sekolah saya disebut, tak apa tanpa suara tepuk tangan juga. Saya tidak bisa tepuk tangan karea sedang memegang HP, mengabadikan pengumuman lewat rekaman. Murid-murid saya tidak bertepuk tangan saking kagetnya, nama sekolah kami disebut. Aku sangat terharu sekali, sampai ingin menangis. SMPN 2 Indra Makmu kembali disebut Juara II Menulis cerpen. Kami mendapat piala dan uang tunai Rp 200.000 untuk juara I, dan Rp 150.000 untuk juara II. Besok saya akan memberikan uang hadiah ini ke murid-murid kebanggaan saya.
              Beberapa minggu kemudian, saya berjumpa dengan kepsek SMP tetangga secara tak sengaja di pasar, beliau bertanya, "Bu, kemarin muridnya juara II ya?", "Iya Pak, kemarin murid saya Juara 1 menulis puisi dan juara II lomba menulis cerpen.". Beliau tersenyum getir, "Selamat ya!". Sebenarnya saya ingin menyampaikan lagi ke beliau, kami dapat lima piala, tiga piala lainnya disumbang dari cabang olahraga, juara I pencak silat putra, Juara I pencak silat putri, dan Juara III badminton putri.
            Saya ingat guru saya pernah berkata, “Hendaklah Seperti Genteng, Janganlah seperti Batu Pondasi”. Kenapa? Kalian tahu bagaimana proses si calon genteng akhirnya menjadi genteng yang  disimpan di atas atap rumah?
               Proses pembentukan tanah liat menjadi genteng, begitu sakit, begitu banyak ujian, Sebelum menjadi genteng yang bagus, tanah liat yang lemah, ‘lembek’ diinjak-injak. Tanah liat diinjak-injak dicampur dengan air dan abu bakar, diaduk-aduk pakai alat berat, kata tanah liat “Tidak apa-apa saya sakit sekarang, tapi saya punya cita-cita, punya harapan”. Penderitaan calon genteng belum selesai. Calon genteng dimasukkan ke cetakan, di press, digencet, “Sakit..” kata calon genteng, “tapi tidak apa-apa sakit sekarang, saya punya cita-cita.” Calon genteng tetap tabah, kuat, dan sabar. Selanjutnya, I calon genteng dijemur 4 hari dibawah terik matahari, kemudian dibakar 10 hari di tungku yang sangat panas, “Panasss” kata calon genteng. Tapi begitu keluar dari tungku, jadilah sebuah genteng. Disimpan di atap, tempat paling tinggi di rumah.
             Jangan seperti batu pondasi! Karena, batu pondasi kekar, hitam, kuat, keras, tapi dipukul martil, pecah. Tak tahan uji. Memang tidak mudah untuk mencapai yang kita inginkan. Dibutuhkan keringat dan perih untuk menjemput keberhasilan. Kalau sudah di atap pun, sebuah genteng jangan sampai lupa diri dan lengah, apalagi sombong, karena apabila sebuah genteng terjatuh, dia hanya menjadi kerikil, tidak akan menjadi tanah liat kembali.
                Jangan takut gagal, takutlah bila tidak mencoba! Jangan takut membangun mimpi.