Saya tidak pandai
menulis puisi, cerpen, apalagi baca puisi. Menulis puisi hanya dalam kondisi
‘kepepet’ karena ada tugas dari guru atau dosen. Seumur hidup belum pernah
membuat cerpen, kecuali kalau tulisan saya yang dibawah ini bisa disebut cerpen
setengah matang dari cerita pengalaman saya mengikuti SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah 3T). Terakhir, seingat saya, seumur hidup baru satu
kali membaca puisi di depan publik, itu pun trio .Hehe.. Saya tidak menyadari, di sekolah, ya di
sekolah, seorang guru bahasa Indonesia selalu diidentikkan sebagai sastrawan
berjalan.
Selasa, 15 Mei 2012 langit
biru cerah membungkus Aceh Timur. Kepsek SMPN 2 Indra Makmu, Aceh Timur membawa
surat undangan lomba FLS2N dan O2SN 2012 dari Dinas Pendidikan. Seluruh kota dan kabupaten di Indonesia mengadakannya, juara tingkat kota/kab maju ke provinsi, dan juara provinsi maju ke tingkat nasional. Hanya tiga
lembar, namun membuat seminggu hari sesudahnya menjadi berjuta rasanya.
Tanpa basa-basi, guru-guru
diberi pilihan seusai pelajarannya. Guru bahasa Inggris diberi kedaulatan untuk
mempersiapkan siswa lomba Pidato Bahasa Inggris dan story telling. Dua guru seni budaya memegang tugas memilih dan
melatih siswa menari, paduan suara, dan nyanyi solo. Guru olahraga bertanggung jawab atas
lomba-lomba berbau olahraga. Guru agama diberi kepercayaan untuh melatih siswa
MTQ, dan saya diberi tugas (Ya Allah, tidak terduga secepat ini) melatih siswa
menulis puisi dan menulis cerpen. Sedangkan, guru bahasa Indonesia yang satunya
bertugas melatih siswa membaca puisi.
Yang menambah kejutan untuk kami adalah
lombanya diadakan seminggu lagi, tanggal 22-23 Mei 2012. Apa? Berjuta rasanya,
antara tegang, senang, waswas, bimbang, ragu, dan perasaan penasaran menyelimuti
saya. Saya seorang guru yang baru pecah dari telurnya agustus 2011, minim
pengalaman. Lomba ini pertama kalinya untuk saya.
Enam hari saya ‘godok’ mereka.. kepala jadi kaki,
kaki jadi kepala, bener-bener sibuk seminggu ini. Berbagai jurus metode,
strategi, model pembelajaran saya keluarkan, saya ajak siswa membaca puisi dan
potongan-potongan novel yang ada di LKS, buku paket, ataupun yang di
perpustakaan sekolah, mendengarkan lagu kemudian mencari kata kunci dari
lagu-lagu. Teknik Akrostik, menulis puisi dari huruf nama sendiri. Mengajak
siswa menulis puisi di belakang sekolah, mencari yang terbaik lewat sayembara
menulis puisi siswa-siswa kelas VIII.
Hari yang tidak ditunggu-tunggu, akhirnya tiba,
Selasa pagi. Tidak ada guru yang mengantar ke tempat lomba, karena guru-guru
yang lain mendapat giliran lomba di hari kedua. Hanya saya sendiri (yang belum
lima bulan tinggal di Aceh) dan dua orang murid saya yang berangkat selasa ini.
Wakepsek menitipkan kami bertiga ke rombongan SMP tetangga, yang katanya bawa
mobil barang bak terbuka, dan berangkat jam 7. Jika berangkat jam 7, insya
Allah jam 9 sudah sampai tempat lomba. Karena perjalanan dari sini Lebih kurang
150 km-an untuk sampai di tempat lomba, SMPN 1 Bayeun, Aceh Timur.
Kalau dibayangkan, jarak kami ke tempat lomba sama
seperti jarak dari Bandung ke Jakarta 157 km. Tapi disini nggak usah takut
macet, nggak ada lampu merah, jalanan sepi, jarang sekali ada orang nyebrang,
yang berada di kanan kiri adalah lembu yang asik berjemur. Yang kami takuti cuma
jembatan kayu patah, tanah longsor, ban pecah (sering banget kejadian, karena
rusaknya jalan), truk pengangkut sawit mogok, jalanan banjir, sehingga kami tidak
bisa lewat
Untuk menghormati
tuan rumah, jam 6.30 kami sudah mejeng di
warung tempat janjian berkumpul, yang berada lima menit dari lingkungan
SMPN tetangga. Ternyata belum ada satupun siswa SMPN tetangga yang sudah
datang. Katanya jam 7 mau berangkat?
Jam 7.00 Aku mulai
gelisah. Apa duluan berangkat saja ya? Saya tanya ke Wakepsek. “Bunda, fitri
pergi duluan aja ya sama Rini dan Nurul, pake RBT (ojek) dan Jumbo (mobil
besar) aja.”
“Jangan fitri. Bunda udah bayar ke Wakepsek SMP tetangga, 100ribu untuk ongkos
kalian.”, kata Bunda, saya menyebut wakepsek dengan Bunda (Singkatan dari Bu
Enidawati).
“Tapi Bunda, fitri takut kesiangan kalau nungguin mereka.” Sahutku cemas.
Jam 7.30, Aku
sangat gelisah, dan akhirnya kepala sekolah SMPN tetangga datang dengan
keretanya (di Aceh, motor disebut kereta, sedangkan mobil disebut montor), disusul
murid—muridnya yang berjalan santainya, bak pengantin Solo. Aku berteriak dalam hati “Pengen cepet nyampe di tempat lombaaaaaa.”
Jam 08.00an, pada
kepsek SMP tetangga, saya bertanya memastikan, “Pak, dapat urutan no berapa?”. “No
40, kira-kira kebagian tampilnya siang”, jawab Kepsek SMP tetangga. Dalam hati,
oh pantas, dari tadi nyantai-nyantai, soalnya kebagian panggilan akhir di hari
ini, “Kalau SMPN 2 dapat no berapa?” sambung Kepsek sebelah.
“Dapat no 50, Pak. Jadi kami
kebagian lomba besok, Pak, yang hari ini Cuma menulis puisi dan menulis cerpen
saja. Oh iya, Pak, mau berangkat jam
berapa? Udah jam 7.30, pak. Acara dimulai jam 9, upacara pembukaan.”
“Nanti, sebentar lagi, Bu Fit. Belum semuanya kumpul, guru-guru
pendamping juga belum ada yang datang. Biasanya nggak seperti ini, biasanya
diminta kumpul jam 8, mereka akan kumpul jam 8”. Kulihat, di depan warung
sebelah, anak-anak SMPN Tetangga sedang asik foto-foto. “Pak, lomba menulis
puisi dan menulis cerpen dimulainya jam 10.00, Pak. Sekolah bapak ikutan juga
kan?” tanyaku lagi.
“Buat apa ikutan, yang menang pasti sekolah-sekolah kota, kayak SMPN 1
Peudawa, SMPN I Idi, SMPN I Peureulak, dan SMP-SMP di kota lainnya. Ikutan
juga, nggak akan menang. SMP-SMP seperti kita yang di pedalaman ini cuma
sebagai formalitas saja, daripada dimarahin sama atasan. Sekolah saya cuma ikut
Al-maul Husna, MTQ putra, dan solo putri.”
“Pak, kok gitu? Kan belum nyoba, Pak.”
“Anak-anak sini pada males, liat mereka sudah tahu kesiangan, tapi
jalannya santai gitu.”
Saya sakit hati mendengarnya, sebenarnya tidak ada murid yang bodoh,
ada juga guru yang nggak bisa mengajar.
Saya kembali bertanya, “Pak, gimana dong, ini udah kesiangan.”
“Bu Fitri nggak akan dimarahin sama kepala sekolah kalau sekarang nggak
jadi ikutan juga.“
“Nggak mau, Pak, saya dan murid saya akan tetap ikutan lomba. Masa menyerah
sebelum perang. Siswa-siswa saya udah latihan dan persiapan. Saya bukan mengharapkan
harus menangnya. Menang urusan belakangan. Yang penting udah berusaha dan udah
nyoba.”
“Ya, terserah bu Fitri. Saya juga nggak akan hadir ke tempat lomba,
malu udah kesiangan. Biar murid-murid dan guru pendampingnya saja yang pergi ke
bayeun.”
Saya dan murid-murid
saya sudah semakin gelisah, tapi guru-guru dari SMP tetangga belum juga
berdatangan ke warung ini. Niat ikutan lomba nggak sih? Saya lihat lagi jam,
jam sudah pukul 08.15an. Akhirnya ada satu guru yang datang. Guru yang datang
itu member kabari, kalau dua guru lainnya masih di rumahnya masing-masing.
Akhirnya mobil bak
terbuka ini berangkat untuk menjemput guru-guru di rumahnya masing-masing. Waktu berjalan sangat cepat, tapi aktifitas yang dilakukan masih sama. Menunggu.
Jam sudah menunjukkan pukul 08.37.
Tiba-tiba saat
menunggu guru di depan rumahnya di kawasan kantor polisi Indra Makmu, seorang
guru minta izin untuk balik lagi ke rumahnya karena mau ganti baju, salah
kostum katanya. Terus tiba-tiba ada anak yang mau muntah. Matahari sudah
semakin tinggi, tapi kami belum berangkat juga. Duduk saya seperti ada bara
apinya, nggak bisa diam. Saya terus menerus melihat jam, seakan bom akan pecah
sebentar lagi.
Entah untuk ke
sekian kalinya, ide ini terlintas, ya, untuk nekat ke tempat lomba bertiga saja
dnegan murid-murid saya. Saya berinisiatif keluar dari mobil. Saya pergi ke
jalan raya,menjauhi mobil yang berisi penuh murid-murid SMP tetangga dan dua
orang murid saya yang akan ikut lomba. Pura-pura untuk nelepon.
Pakai RBT (ojek)
dari sini mahal, 20.000 untuk jarak 20-25 km dari Alue Ie Mirah ke Kota Binjai.
Disini minim transportasi, nggak ada yang namanya delman, angkot, becak, dan
bis. Disini cuma ada dua pilihan, ojek atau numpang.
Doa saya terkabul.
Nggak nyampe satu menit saya berdiri, lewat dan berhentilah mobil bak terbuka
yang kosong penumpang dan kosong barang. Dari dalam, bapak-bapak berpeci hitam,
bertanya “Hok Ja? (Hendak kemana?)”. “Kutabinjai” sahutku cepat.
“Saya dan murid-murid saya boleh numpang, Pak?”. Saya berbincang-bincang dan
sangat berterima kasih kepada beliau.
Singkat cerita
saya dan murid-murid saya sudah berada di tempat lomba, setelah melalui
perjalanan yang terasa tidak nyampe-nyampe, Afdelling 2-Alue Ie Mirah-Kota
Binjai-Nurusalam-Idi Cut-Idi Rayeuk-Peudawa-Peureulak-Rantau Selamat, sampailah
di Bayeun, tempat lomba pukul 11 kurang sedikit. Di Idi, ibukota Aceh Timur,
kepala sekolah saya sempat memberikan amunisi untuk biaya perjalanan dan makan.
Alhamdulillah,
kali ini, saya tidak kelewatan lagi SMPN 1 Bayeun, Jumat kemarin, saya udah
bablas hampir sampai kota Langsa, gara-gara ketiduran. Saya yang biasanya asyik
tidur di kendaraan, kali ini tidak bisa tidur. Bernafas dengan tenang saja
rasanya sulit (Hehehe, lebay).
Setelah berada di
tempat lomba, saya sudah lega—selega-leganya. Memang kami tidak kebagian
pembukaan, pembukaannya sudah selesai, dan sudah ramai orang dimana-mana. Lomba-lomba
yang tempatnya di lapangan seperti tari, padus, nyanyi, almaul husna, sudah
ramai dimulai. Saya langsung ke tempat lomba menulis puisi, dan lomba menulis
cerpen yang berada di dalam kelas. Duduk berjauhan. Alhamdulillah, saat murid-murid saya masuk,
perlombaan pun dimulai. Alhamdulillah, ternyata lombanya ‘ngaret’, harusnya kan
dimulai jam 10.00 wib, tapi jadi jam 11, hehe.
Saya sudah tenang.
Karena sudah memastikan mereka berada di tempat imajinasinya masing-masing.
Sementara mereka sedang berlomba, saya asyik keliling-keliling, melihat segala
jenis lomba, mengabadikan. Sambil sesekali menengok murid saya.
Pulangnya hujan
besar. Dingin dan basah. Mobil kami cuma mobil terbuka. Sebenarnya saya dan
murid-murid sempat tertinggal rombongan, hehe, tapi Alhamdulillah setelah
setengah jam perjalanan kami bisa menyusul mobil rombongan. Di perjalanan
pulang, saya menjadi akrab dengan siswa-siswa SMPN tetangga. Mereka mengajari
saya bahasa Aceh. Saya mengajari mereka bahasa Sunda.Kami foto-foto
bersama. Bertukar cerita dan bertukar pengalaman.
Malam yang indah dan sejuk, bintang ramai menghias angkasa
Aceh. Jumlahnya lebih banyak daripada
bintang yang saya lihat di Sukabumi, Bandung, apalagi Jakarta. Di bawah
langit yang berhiaskan bintang-bintang. Saya berkata ke murid saya, berbisik, “Mudah2an
di antara kalian berdua ada yang menang ya, nggak apa-apa juara 3 juga.” Yang langsung
di-AMINkan oleh murid-murid saya.
Jam 8 malam, Ternyata
tadi siang sampai sore, di daerah tempat tugas saya hujan besar juga, kami tidak
bisa pulang, ternyata jalanan menuju SMPN 2 Indra Makmu dicegat banjir.
Akhirnya saya menginap di rumah guru. Sedangkan murid saya langsung dijemput
kakak-kakaknya untuk pulang ke rumahnya, karena jalan ke rumah mereka tidak
dicegat banjir.
Esoknya, rabu
sore, pengumuman tiba. Perwakilan-perwakilan dari SMP dan SMA se-Kabupaten Aceh
Timur berkumpul di tengah lapang, ramai sekali. Piala-piala berjajar rapi. SMPN-SMPN
kota terus dipanggil juara I, juara II, juara III. Tepuk tangan dimana-mana. Saya
sudah menyaksikan selama perlombaan hari ini dan kemarin, SMPN-SMPN kota tampil
sangat bagus dan memukau penonton. Juara-juara lomba terus disebutkan.
Diibaratkan pemeran
di film, sekolah kami selama ini hanya peran figuran. Sekedar lewat, sekedar
ada. Tidak banyak menjuarai bidang-bidang akademik maupun non akademik. Tahun lalu
sekolah kami mendapat juara II lomba membaca puisi. Setidaknya pulang ke
sekolah tidak dengan tangan kosong. Kami berharap tahun ini sama atau lebih
baik dari tahun kemarin.
Menunggu
pengumuman ini, saya cuma berempat. Saya dan ketiga murid saya bertahan berdiri
di lapangan menunggu pengumuman. Saya
menemani tiga murid saya ini yang mengikuti lomba pidato bahasa inggris, story telling, dan lomba baca puisi.
Kami berharap tahun ini menang lagi lomba baca puisi. Murid-murid yang lain
sudah pulang ke rumah guru yang tidak jauh dari situ. Guru-guru yang lain
menunggu di parkiran.
Tibalah pengumuman
menulis puisi diumumkan, waktu terasa berhenti, “Juara I Lomba Baca Puisi SMPN 2 Indra Makmu.” Hening, tidak ada suara tepuk tangan. Para penonton
sepertinya sangat asing mendengar nama sekolah kami.
Alhamdulillah
sekolah saya disebut, tak apa tanpa suara tepuk tangan juga. Saya tidak bisa
tepuk tangan karea sedang memegang HP, mengabadikan pengumuman lewat rekaman.
Murid-murid saya tidak bertepuk tangan saking kagetnya, nama sekolah kami
disebut. Aku sangat terharu sekali, sampai ingin menangis. SMPN 2 Indra Makmu
kembali disebut Juara II Menulis cerpen. Kami mendapat piala dan uang tunai Rp
200.000 untuk juara I, dan Rp 150.000 untuk juara II. Besok saya akan
memberikan uang hadiah ini ke murid-murid kebanggaan saya.
Beberapa minggu kemudian, saya berjumpa dengan kepsek SMP tetangga secara tak sengaja di pasar, beliau bertanya, "Bu, kemarin muridnya juara II ya?", "Iya Pak, kemarin murid saya Juara 1 menulis puisi dan juara II lomba menulis cerpen.". Beliau tersenyum getir, "Selamat ya!". Sebenarnya saya ingin menyampaikan lagi ke beliau, kami dapat lima piala, tiga piala lainnya disumbang dari cabang olahraga, juara I pencak silat putra, Juara I pencak silat putri, dan Juara III badminton putri.
Saya ingat guru
saya pernah berkata, “Hendaklah Seperti Genteng, Janganlah seperti Batu Pondasi”.
Kenapa? Kalian tahu bagaimana proses si calon genteng akhirnya menjadi genteng yang disimpan di atas atap rumah?
Proses pembentukan
tanah liat menjadi genteng, begitu sakit, begitu banyak ujian, Sebelum menjadi genteng
yang bagus, tanah liat yang lemah, ‘lembek’ diinjak-injak. Tanah liat diinjak-injak
dicampur dengan air dan abu bakar, diaduk-aduk pakai alat berat, kata tanah
liat “Tidak apa-apa saya sakit sekarang, tapi saya punya cita-cita, punya
harapan”. Penderitaan calon genteng belum selesai. Calon genteng dimasukkan ke
cetakan, di press, digencet, “Sakit..” kata calon genteng, “tapi tidak apa-apa
sakit sekarang, saya punya cita-cita.” Calon genteng tetap tabah, kuat, dan
sabar. Selanjutnya, I calon genteng dijemur 4 hari dibawah terik matahari, kemudian
dibakar 10 hari di tungku yang sangat panas, “Panasss” kata calon genteng. Tapi
begitu keluar dari tungku, jadilah sebuah genteng. Disimpan di atap, tempat
paling tinggi di rumah.
Jangan seperti batu
pondasi! Karena, batu pondasi kekar, hitam, kuat, keras, tapi dipukul martil,
pecah. Tak tahan uji. Memang tidak mudah untuk mencapai yang kita inginkan. Dibutuhkan
keringat dan perih untuk menjemput keberhasilan. Kalau sudah di atap pun,
sebuah genteng jangan sampai lupa diri dan lengah, apalagi sombong, karena
apabila sebuah genteng terjatuh, dia hanya menjadi kerikil, tidak akan menjadi
tanah liat kembali.
Jangan takut
gagal, takutlah bila tidak mencoba! Jangan takut membangun mimpi.