Bertungkus Lumus pada Tragedi 1965
oleh Fitri Nuur Alimah (0706191)
Feminis berasal dari kata ”Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. (Ratna, 2004: 184). Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan diantara semuanya yang juga membuat perbedaan dari diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).
Lewat cerpennya yang berjudul Bertungkus Lumus, Martin Aleida mencoba menggambarkan seorang ibu yang telah kehilangan cita-cita, harapan dan kemuliaan tubuhnya karena tragedi 1965. Tragedi 1965 telah menyisakan kepedihan yang mendalam pada diri tokoh utamanya, karena pada tragedi itu ia harus kehilangan suaminya, dan ia sendiri dimasukkan ke penjara. Di penjara itu dia disiksa dan diperkosa bagaikan seorang pelacur gudikan. Kemudian ia dibawa oleh seorang kapten hanya untuk sekadar menjadi budak gratisan sekaligus sebagai daging simpanan, namun ketika dia telah melahirkan anak laki-laki, kapten itu meninggalkannya. Bertungkus lumus ia membesarkan bayinya hingga menjadi orang yang berhasil.
Tokoh utama dalam cerpen ini adalah seorang ibu. Ibu di cerpen ini digambarkan sebagai sosok perempuan yang mudah menyerah, hal ini dapat terlihat dari apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakannya. “Namun tekanan ujung jari jemarinya, yang terbiasa mengentak-entak di atas tuts mesin tik, membuat tiap huruf yang tampil di monitor itu berjejal-jejal tak bermakna. Dia mengeluh dalam. Dan segera komputer itu dia matikan…” (paragraf 3, hlm: 1). Jika dia perempuan yang pantang menyerah, dia akan terus mencoba mengetik di laptopnya sampai ia bisa. Namun yang ia lakukan malah segera mematikan laptopnya. Bukti lainnya yang menggambarkan dia seorang yang mudah menyerah adalah saat memilih nama untuk kursusnya, “Dia juga ingin menuliskan nama itu dalam bahasa
Sosok ibu dalam cerpen ini digambarkan pula sebagai sosok perempuan yang tidak mengikuti zaman. Dia masih menggunakan mesin tik, walaupun di rumahnya tersedia laptop. Dia juga masih mengenakan kebaya, “Patahan daun melayang melintasi mulut jendela dan menyelinap diantara kerah kebaya perempuan yang berdiri memaku” (paragraf 6, hlm: 1) tidak seperti wanita seumurannya yang sudah mengenakan pakaian gamis ataupun pakaian bahan untuk keluar rumah dan daster untuk di dalam rumah. Alasan mengapa dia melakukan semua itu, karena dia seorang sosok perempuan yang setia, ”Terdengar aneh, tentu, tetapi buat dia itulah kesetiaan” (paragraf 12, hlm: 2). Bukti lainnya yang menunjukan ia adalah perempuan yang setia adalah dia tidak menikah lagi sejak suaminya tertangkap pada tahun 1965.
Di cerpen ini pula, saat tokoh ibu mengenang masa lalunya, ia digambarkan sebagai sosok perempuan yang lemah dan teraniaya, “Dia disiksa, diperkosa untuk memperoleh pengakuan yang demi Tuhan, memang mustahil.” (paragraf 14, hlm: 3). “Hari-hari dilalui perempuan kita itu tak lebih dari sekadar seorang budak gratisan, malam-malam dia lewati tak lebih dari sekedar daging simpanan” (paragraf 18, hlm: 3).
Namun terlepas dari dia perempuan yang pantang menyerah dan tidak mengikuti zaman, dia adalah seorang perempuan yang sabar dan tegar. Karena walaupun tragedi 1965 telah merenggut cita-cita, harapan, dan kemuliaannya tubuhnya, ia tetap bangkit untuk membesarkan bayinya sendirian dengan bekerja sebagai pelayan toko, berjualan kue, dan berjualan bandrek di malam hari, dan akhirnya ia mendirikan kursus bahasa Inggris.
Tokoh laki-laki yang diceritakan dalam cerpen ini adalah anak dari ibu itu, dan kapten yang telah menghamilinya. Anaknya digambarkan sebagai sosok laki-laki yang tidak ketinggalan zaman, dia yang memberikan dan mengajarkan kepada ibunya cara menggunakan laptop dan peralatan infocus. Dia juga digambarkan sebagai sosok laki-laki yang berani, “Tak pernah dia bayangkan pengakuan itu akan memecut anaknya untuk mengejar sang ayah sampai pun ke balik dunia.” (paragraf 30, hlm: 4). Sedangkan kapten digambarkan sebagai laki-laki yang tidak bertanggung jawab, karena setelah menghamili perempuan itu, dia meninggalkannya, habis manis sepah dibuang, “….dialah yang menghamili aku, meninggalkan aku dan kau, membuangbalaikan kita berdua sesudah dia puas mencicipi” (paragraf 29, hlm: 4) .
Martin Aleida menulis cerpen ini dengan nada dan suasana pesimistik. Nada pesimis ditandai dengan sosok ibu yang pantang menyerah, lemah, teraniaya, dan tidak mau berdamai dengan zaman sehingga membuatnya ketinggalan zaman. Membaca cerpen Bertungkus Lumus ini membuat kita merasa nyeri, perih, dan pedih, karena akan terbayang kasus penganiayaan dan pembunuhan pada tahun 1965, juga luka hati yang terus menggerogoti harapan dan cita-cita perempuan yang diceritakan dalam cerpen ini. Cerpen ini memang sangat menarik karena Martin Aleida mampu mengungkapkan kekuatan rasa keperempuanannya melalui rangkaian kata-katanya dalam cerpen ini.
Daftar Pustaka:
Adjie, SE Peni. 2003. Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis. [Online]. Tersedia: jurnal-humaniora.ugm.ac.id/download/120920061204-peni%20adji.pdf. [12 November 2008]
Aleida, Martin. 2008. Bertungkus Lemus. [Online]. Tersedia: http://www.sriti.com/story_view.php?key=2647. [12 November 2008]
Prasastie,
Rosyi. 2008. Struktural Semiotik dan Feminisme dalam Puisi. [Online]. Tersedia: ) www.bungamataair.blogspot.com/ - 127k. [12 November 2008]
Sambodja, Asep. 2003. Sastra yang Meretas Kabut Sejarah 1965. [Online]. Tersedia: ) www.suarakarya-online.com/news.html. [12 November 2008]
Saparie, Gunoto. 2005. Kritik Sastra dalam Perspektif Feminisme. [Online]. Tersedia: ) www.suarakarya-online.com/news.html- 29k. [12 November 2008]