Kamis, 16 September 2010

Pentas Drama Maunya Terlalu Macam-macam


Magdelon dan Chatos yang Ah..Terlalu Macam-macam Maunya


oleh : Fitri Nuur Alimah


Senin malam tanggal 19 Mei 2008, Gedung PKM Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dipadati para mahasiswa yang berniat untuk menonton drama “Maunya Terlalu Macam-macam” karya Moliere , yang dipentaskan oleh Lakon Teater UPI.

Maunya Terlalu Macam-Macam merupakan versi Indonesia dari les precieuses ridicules (1956) yang diterjemahkan oleh Asrul Sani, seorang pengarang angkatan 45’ sekaligus seorang sutradara yang tidak perlu diragukan lagi kehebatannya dalam mengarang dan menerjemahkan sebuah karya sastra.

Sekitar pukul 19.30 WIB pertunjukan dimulai. Diawali dengan suguhan lagu dari sebuah kelompok musik keroncongan. Lalu kisah dimulai, dengan setting sebuah teras rumah dengan sepasang pilar dan empat buah kursi. Para tokoh wanita menggunakan pakaian rok terusan yang mencerminkan zaman perancis masa itu. Sedangkan para tokoh prianya menggunakan kemeja yang dibalut jas.

Drama Maunya Terlalu Macam-macam bercerita tentang dua orang gadis bangsawan yang bernama Magdelon dan Chatos yang dijodohkan oleh bapaknya Gorgibus kepada dua lelaki bangsawan yang bernama La Grange dan Du Croisy. Namun sayangnya kedua gadis itu menolak lamaran mereka, karena kedua gadis ingin merasakan avontur-avontur cinta sebelum menapaki pernikahan. Kedua lelaki bangsawan merasa sakit hati. Kemudian datanglah lelaki yang bernama Mascarille disusul oleh kawannya Jodelet ke rumah Magdelon dan Chatos, mereka mengobrol, setelah merasa saling cocok, kemudian mereka memanggil pemain biola untuk mengiringi dansa mereka. Di tengah dansa, tiba-tiba datang kedua bangsawan yang sakit hati tadi, terkuaklah rahasia bahwa Mascarille dan Jodelet adalah pelayan para bangsawan tadi. .

Begitulah drama Terlalu Macam-macam Maunya, sebuah drama yang diharapkan dapat memberi “pendidikan” bahwa jangan melihat orang dari penampilan saja. Sebuah kutipan kata dari Mascarille “Beginilah masyarakat kita, begitu kita tergelincir sedikit, serta merta orang-orang yang memuji kita berbalik membenci kita.” Habis manis sepah di buang.

Setelah pertunjukan drama selesai, sutradara Tri Asih Puspitaningtyas, kru-kru, beserta para pemain dan penonton mendiskusikan drama tadi. Ternyata drama yang berhasil dipentaskan sehingga kelihatan begitu hidup ini adalah UTS bagi calon anggota muda yang ingin memasuki UKM Lakon Teater UPI.

Sayangnya setting panggung yang bagus tidak didukung dengan sound system yang bagus pula, jadi terkadang suara para tokoh terdengar samar-samar. Selain itu kenyamanan para penonton terlihat kurang di perhatikan. Suasana di dalam auditorium sangat panas dan pengap, karena dinding-dinding auditorium di dekor dengan menggunakan kain warna hitam. Ditambah susunan bangku auditorium yang tidak berundak-undak, membuat penonton yang berada di jajaran bangku belakang tidak dapat menyaksikan pementasan secara maksimal. Di pertengahan pementasan beberapa penonton terlihat pergi untuk mendapatkan udara segar.

Rasanya, jika pementasan ini didukung dengan sound system yang bagus dan auditorium yang mendukung. Pementasan ini akan lebih hidup dan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Bravo!!!