Digul, Kenangan Getir Kaum Interniran
oleh Fitri Nuur Alimah
Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan poskolonial sekaligus juga merupakan respon dan cermin “kekecewaan” kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori poststruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes. (Budianta, 2004: 49). Menurut Pamela Alen (2004: 211), ada dua penanda postkolonial, yaitu yang pertama adalah adanya tempat dan pemindahan, dan yang kedua adalah adanya dekontruksi. Dalam cerpen Tanah Merah karya Dwicipta kita dapat menemukan kedua ciri tersebut.
Tempat yang menjadi kamp pembuangan dalam cerpen Tanah Merah adalah hutan Digul di Papua, sebuah hutan belantara yang menyimpan sarang nyamuk malaria, orang-orang kanibal, dan binatang-binatang buas seperti buaya. Dalam cerpen Tanah Merah hutan Digul dideskripsikan lewat dialog yang diucapkan Kapten Becking, “Apakah Gubernur Jenderal sudah gila? Digul adalah daerah terpencil, hutan-hutan lebat yang belum dijamah kecuali oleh penduduk rimba setempat dan para petualang Tionghoa. Aku mendengar dari orang-orang yang melakukan ekspedisi ke
Penanda poskolonial lainnya adalah adanya pemindahan. Dalam cerpen Tanah Merah ini kita dapat menemukan adanya pemindahan kaum interniran dari Jawa ke Digul Papua, yang diceritakan lewat narasi, “Satu minggu sebelum bulan Januari 1927 berakhir kapalnya yang membawa 120 serdadu dan 60 kuli paksa dengan kaki dirantai memasuki sungai Digul…” (TM, paragraf 12, hlm: 2).
Sebenarnya Kapten Becking dan Letnan Drejer tidak setuju menyembunyikan kaum interniran di Hutan Digul, kita dapat mengetahuinya lewat dialog-dialog “….Bagaimana kaum interniran dapat hidup disana?” (TM, paragraf 4, hlm: 1). “….Apa yang bisa diharapkan dari daerah seterpencil itu?” (TM, paragraf 6, hlm: 1), “Itulah yang sebenarnya melukai kehormatanku, Letnan. Aku lebih terhormat meregang nyawa dalam sebuah pertempuran daripada membuat tempat penyiksaan semacam ini. Tapi kita mengabdi kepada Gubernur Jenderal, bukan kepada nurani kita,” (TM, paragraf 23, hlm: 3).
Dalam cerpen ini pun terjadi dekontruksi sejarah, istilah dekontruksi dalam ilmu sastra mengacu pada model/metode analisis yang dipakai dalam membaca berbagai macam teks sastra maupun nonsastra, untuk menunjukan ketidaksesuaian dengan logikalretorika antara yang secara eksplisit disebutkan dan yang secara emplisit tersembunyi dalam teks. (Halimah, hlm: 14)
Cerpen Tanah Merah mendekontruksikan sejarah pada tahun 1926/1927, tepatnya pada peristiwa Banten. Saat itu orang-orang yang memberontak kepada pemerintah dibasmi dengan cara membawa mereka ke kamp pembuangan Digul, Papua. Mereka menyebutnya kaum interniran. Kaum interniran adalah kelompok orang (tawanan perang, pelarian, dsb) yang ditempatkan di suatu tempat tinggal tertentu dan melarangnya meninggalkan tempat tersebut atau berhubungan dengan orang lain, dengan kata lain orang-orang ini dipindahkan ke suatu tempat untuk dipenjarakan dan diasingkan. Tanah Merah sendiri adalah nama yang diambil karena kaum interniran yang dibuang ke hutan Digul ini rata-rata berkulit merah atau sawo matang. Sehingga disebutlah Tanah Merah, “…….secara bergelombang datanglah kaum merah yang telah gagal memberontak itu, dipisahkan dari bangsanya sendiri dan dikubur di tengah belantara untuk selamanya. Pada pendatang baru ia memperkenalkannya sebagai Tanah Merah.” (TM, paragraf 28, hlm: 4).
Tokoh yang terdapat di cerpen ini adalah Kapten Becking, Letnan Drejer, Gubernur Jenderal de Graeff, kaum interniran, serdadu, wartawan Denmark, dan opsir Mon Joulah. Yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini adalah Kapten Becking. Kapten Becking adalah orang Belanda yang baru saja mendapat bintang jasa dari Belanda karena kepahlawanannya dalam tindakan militer. Oleh karena itu ia dipercaya oleh Gubernur Jenderal de Graeff untuk membuat kamp pembuangan kaum interniran di Digul, meskipun hati nuraninya menentang pembuangan kaum interniran ke Digul, Kapten Becking tetap menjalankan perintah dengan dibantu oleh Letnan Drejer karena pengabdiannya kepada Gubernur Jenderal de Graeff. Dalam kenyataan, Jenderal de Graeff memang benar-benar ada. Pada masa Gubernur Jenderal Andries CD de Graeff (1926-1931) terjadi pemberontakan besar di Jawa dan Sumatera. Di Jawa, perlawanan dapat ditumpas pada bulan Desember 1926, ribuan orang dikirim ke Digul di ujung pulau Papua yang termasuk wilayah Hindia Belanda atas perintahnya.
“Aparat menangkap sekitar 13.000 orang. Proses hukum menghasilkan 16 orang dihukum mati, sekitar 4500 orang masuk penjara dan sekitar 1308 orang dikirim ke kamp konsentrasi mengerikan di Boven Digoel (Digul Atas), Irian. Tempat ini khusus dibangun untuk para aktivis Revolusi 1926 dan aktivis lain. Ternyata kolonial Belanda lebih dulu membangun kamp konsentrasi dibanding Nazi Jerman. Tempat ini sarang penyakit, binatang buas dan dihuni oleh pribumi yang masih kanibal. Peluang lolos mungkin hanya satu persen, banyak yang mati di kamp tersebut.” (tersedia www.cedsos.com)
Cerpen Tanah Merah merupakan flashback kenangan dari tokoh Kapten Becking saat memulai pemindahan kaum interniran ke kamp pembuangan Digul, hingga kenangan ketika membangun kamp pembuangan tersebut, yang menurutnya benar-benar meletihkan dan memalukan. Walau akhirnya dia harus berhenti dari dinas militer, karena Kapten Becking memperbolehkan wartawan asal Denmark mengambil gambar para interniran selama di dalam kapal dari Surabaya hingga sampai di Digul. Sehingga kabar tentang kamp pembuangan itu meluas ke seluruh dunia. Kita dapat mengetahui alur yang digunakan cerpen ini adalah alur mundur, karena pada paragraf pertama terdapat narasi, “Ketika ia bersandar pada pagar kapal yang akan membawanya pergi dari Tanah Merah, seluruh peristiwa yang telah dialaminya hampir setahun sebelumnya bagai berputar kembali di pelupuk matanya.” (TM, paragraf 1, hlm: 1).
Dari analisis cerpen Tanah Merah tersebut, terlihat bahwa kaum interniran (golongan kelas bawah yang dijajah) tertindas oleh kolonial Belanda (golongan kelas atas yang menjajah). Kaum interniran (orang-orang golongan kelas bawah) bersikap pesimis dan tidak berdaya menjalani kehidupan yang kebijaksanaanya ditentukan dan berpihak pada kolonial Belanda (orang-orang golongan atas).
Daftar Pustaka:
_______________.____. "Menggali Yang Terabaikan" Bab VII. [Online]. Tersedia: www.cedsos.com [12 November 2008]
Adam, Warman Asvi. 2004. Mengkaji Ulang Peristiwa Madiun 1948. [Online]. Tersedia: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=130569. [12 November 2008]
Adam, Warman Asvi. 2008. MPR Perlu Belajar Sejarah?. [Online]. Tersedia: http://phoenix.untd.com/TRCK/CLCK//webservices/general/L19/1801364417/TopRight/ISP/MWS_Monstercom. [12 November 2008]
Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dwicipta. 2008. Tanah Merah. [Online]. Tersedia: http://www.sriti.com/story_view.php?key=2656. [12 November 2008]
Haq, Fajar Riza Ul. 2007. Islam dan Wacana Kritik: Apresiasi Poskolonial Islam. [Online]. Tersedia: fajar-files.blogspot.com/2007/02/islam-dan-wacana-kritik-apresiasi.html. [12 November 2008]
Karimasari, Nadya. 2006. Kuldesak Studi Poskolonial. [Online]. Tersedia: jic05.diaryland.com/poskol.html. [12 November 2008]