AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar
- Hakikat Puisi (Batin)
1. Sense (tema) : Kehidupan sosial
2. Feeling (rasa) : Angkuh sebagai wujud sikap berontaknya kepada bangsa Jepang demi mendapatkan kemerdekaan
3. Tone (nada) : Karakter “Aku” dalam sajak ini sangatlah gigih dalam berjuang mendapatkan kemerdekaan sehingga “Aku” terkesan sangat angkuh
Intention (tujuan) : Menunjukkan bahwa “Aku” akan terus berusaha hingga tetes darah penghabisan untuk mencapai kemerdekaan bangsanya. “Aku” tidak akan peduli meskipun ada yang merayu kepadanya, bahkan kalau ada peluru yang menembus kulitnya pun tidak akan dihiraukan karena “Aku” akan terus berontak
- Metode Puisi (Unsur Fisik)
1. Diksi : Kakofonik (kasar)
2. The konkrit word : Denotatif dan konotatif
3. Imajery : Daya khayal penyair tinggi
4. Gaya bahasa : Tidak terlalu banyak menggunakan gaya bahasa
5. Rhythm dan rima : Rima bebas
Kajian Struktural Genetik
Sajak AKU Karya Chairil Anwar
Dilihat dari keseluruhan puisi, baik hakikat maupun metode puisi, terlihat jelas bahwa tema yang diangkat penyair dalam sajak tersebut adalah mengenai kehidupan sosial pada zaman penjajahan Jepang, dimana bangsa Indonesia sangat merindukan kemerdekaan termasuk yang dirasakan oleh penyair sendiri. Sajak tersebut memang menggunakan sudut pandang orang pertama yang digambarkan oleh sosok “Aku”. Karakter dari tokoh “Aku” sendiri sangatlah angkuh, terlihat dari kata-kata yang dipilih untuk membangun sajak tersebut.
Sajak tersebut merupakan wujud kegigihan penyair untuk memberontak kepada Jepang, karena Ia sangat merindukan kemerdekaannya. Tak kan dihiraukan kalau ada yang merayu kepadanya, tak perlu sedu sedan, kalau peluru menembus tubuhnya pun tak akan dihiraukan, luka bisa dibawa berlari hingga hilang pedih perinya. Demikianlah jiwanya berontak demi mencapai kemerdekaan bangsanya. Peluru sudah menembus tubuhnya pun ia akan terus berontak hingga tetes darah penghabisan.
Chairil Anwar memang seorang manusia biasa namun sering melakukan yang bukan-bukan. Jiwa Chairil Anwar selalu berontak, gelisah, sehingga karya-karyanya bersifat revolusioner, individualistis, realistis, dan universal. Selain itu, Chairil Anwar juga berjiwa sombong dan keras kepala. Meskipun Sutan Takdir Alisjahbana mengkritik Chairil, ia tetap tak bisa menolak bahwa Chairil berjasa besar dalam memberi sumbangan bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Asrul Sani menuturkan bahwa Chairil mempunyai rasa bahasa luar biasa untuk memberi makna pada kosa kata baru Bahasa Indonesia.
Apa arti Chairil Anwar buat kita sekarang? Prof. Dr. Mursal Esten, Pimpinan Redaksi Majalah Sastra, Guru Besar FPBS Universitas Negeri Padang (tahun 2000), mengatakan: Ia adalah personifikasi dari pikiran-pikiran yang menjawab tantangan-tantangan zamannya, dan pikiran-pikiran yang menjawab tantangan masa depan. Ia adalah personifikasi dari keberanian untuk menjadi subyek di dalam sebuah proses perubahan yang panjang dan global. Ia adalah personifikasi atau lambang dari kekuatan kreativitas, sesuatu yang amat diperlukan dalam kelangsungan hidup masyarakat dan umat manusia. Chairil Anwar adalah symbol yang memperlihatkan bahwa hidup manusia terbatas, akan tetapi pikiran-pikiran dan karyanya dapat melintasi zaman.
Sajaknya yang termashur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang membersit-bersit dan individualistis ialah yang berjudul ’Aku’ (di tempat lain diberi judul ’Semangat’). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai ”binatang jalang”, sebutan itu pun menjadi terkenal. Tetapi di samping seorang individualis, Chairil pun seorang yang mencintai tanah air dan bangsanya.
Sajak AKU ini lahir sebagai bentuk pemberontakan terhadap penjajahan Jepang karena Chairil Anwar memang penyair yang paling menonjol di angkatan ’45. Chairil Anwar selalu menulis sajak-sajak yang bermutu tinggi dengan mengetengahkan dua ciri, yaitu pertama jenis Sastra Mimbar (sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu, seperti revolusi, perang). Sastra Mimbar secara tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman. Hal ini dapat berupa tanggapan atau jawaban dari persoalan-persoalan besar zaman itu. Ciri yang kedua, Chairil juga menghasilkan Sastra Kamar, sastra yang menggarap tema-tema keseharian serta berlatarkan situasi keseharian.