Kamis, 16 September 2010

Laporan Baca Novel Legendaris Indonesia "Atheis"


oleh : Fitri Nuur Alimah


I. Identitas buku

Novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja adalah roman yang sudah tak asing lagi bagi para penggemar karya sastra Indonesia. Berdasarkan novel ini pengarangnya dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada tahun 1949. Novel ini adalah novel terbitan Balai Pustaka Jakarta, penerbit pemerintah yang pernah memegang peranan penting dalam perkembangan sastra kita sejak tahun 20-an sampai dengan 50-an. Hingga tahun 2006 novel yang memiliki tebal 250 halaman ini telah dicetak ulang sebanyak 28 kali.

Berbicara tentang novel Atheis tak lengkap rasanya bila tidak membahas covernya. Bila dilihat secara sekilas, cover novel ini kurang menarik, bagian atas dan bawah covernya berwarna hijau ‘lumut’, disertai dengan retakan-retakan bercabang berwarna coklat tua serta guratan-guratan berwarna merah darah. Sepertinya hal itu menggambarkan keadaan keimanan Hasan yang menjadi retak bahkan luka setelah berkawan dengan orang-orang atheis, padahal sebelumnya Hasan adalah seorang pemuda yang taat beragama.


II. Proses Baca

Untuk meyelesaikan novel Atheis ini saya memerlukan waktu yang cukup lama. Saya memulai membaca Atheis ketika liburan pasca lebaran kemarin yaitu sekitar bulan Oktober. Tetapi saya membacanya hanya bila ada mata kuliah Membaca, itu pun hanya beberapa lembar. Walaupun telah mulai memasuki pertengahan bulan Desember, saya baru dapat menyelesaikan seperempat novel ini.

Pada hari Jumat tanggal 14 Desember 2007 saya bertekad pada diri saya untuk membaca ulang novel Atheis dari awal hingga akhir. Pagi-pagi setelah selesai mandi, makan, dan beres-beres, saya mulai membaca Atheis. Saya terus membacanya dan menjadi keranjingan membaca. Walaupun sambil menjaga bayi tetangga, juga ada teman yang main, saya tetap memegang novel ini, dan sesekali membacanya. Saya benar-benar terpikat dengan Atheis ini. Alhamdulilah walaupun banyak gangguan dan hambatan, siang harinya saya dapat menyelesaikan novel ini.

Untuk dapat memahami novel ini, saya harus membacanya dengan konsentrasi yang penuh, tak jarang saya membaca suatu kalimat secara berulang, karena di novel ini banyak terdapat istilah dan kata-kata asing seperti dari bahasa Inggris, Jepang, Belanda, Jerman, dan Perancis.


III. Sinopsis

Hasan adalah seorang pemuda berpendidikan yang taat terhadap agama karena didikan orang tuanya yang menganut Islam ortodok. Pikiran dan hatinya mulai goyah ketika muncul teman masa kecilnya yang bernama Rusli yang membawa seorang perempuan bernama Kartini. Kartini memiliki wajah yang mirip dengan Rukmini, mantan pacarnya.

Pada awalnya Hasan tergugah untuk meluruskan Rusli dan Kartini yang atheis. Beberapa kali Hasan memberi penerangan agama bahwa Tuhan itu ada. Namun karena Rusli adalah pemuda yang pintar berbicara, sebaliknya malah Hasan yang mulai terpengaruh dengan pikiran-pikiran Rusli maupun Kartini. Keimanan Hasan semakin lemah ketika mengenal teman Rusli yaitu Anwar yang seorang atheis tulen. Bahkan pada tahap-tahap berikutnya Hasan sanggup melawan ayahnya.

Kedekatan Hasan dengan Kartini, membawa mereka ke jenjang pernikahan. Namun sayang beberapa tahun kemudian, terjadi keruwetan dalam rumah tangganya, Hasan mengira istrinya selingkuh dengan Anwar. Hal itu menyadarkan Hasan atas dosanya terhadap Tuhan maupun terhadap orang tuanya. Dia pergi ke kampung orang tuanya, untuk meminta maaf. Akan tetapi, ayahnya tidak mau memaafkannya hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dalam keputusasaan dan kesedihan, Hasan sadar bahwa Anwar-lah orang yang membuat dia lupa akan ajaran agama, ajaran Tuhan, ajaran kemanusiaan, dan kesusilaan. Di tengah suara sirine tanda bahaya udara, ia terus memburu Anwar, dia ingin membunuh Anwar. Sebelum menemukan Anwar, tiba-tiba dia merasa ada yang menembus tubuhnya. Hasan jatuh tersungkur, kemudian meninggal dengan mengucapkan Allahu Akbar.


IV. Tanggapan

Dalam novel Atheis, pengembaraan fisik dan batin tokoh utama, serta dialog-dialog filsafat bermuatan gagasan yang lumayan “dalam”, hal ini mencerminkan wawasan dan pengalaman luas sang pengarangnya. Di satu sisi ini bisa menambah bobot buku, tetapi pada saat yang sama ini berpeluang menjadi ceramah, diantaranya pada kalimat:

“Saya tertawa,” jawabku, “oleh karena bagiku manusia yang berangan-angan mau membikin nyawa, adalah orang yang miring otaknya, kemasukan setan. Dan sebetulnya bukan harus tertawa saja tadi itu, melainkan harus menangis. Orang macam begitu itu adalah orang yang kufur, yang murtad, yang durhaka, karena mau menyamai Tuhan Maha Pencipta.”

(Atheis, halaman 67)

Akan tetapi, biarpun begitu, aku tidak selamanya menyetujui segala uraiannya. Apalagi ketika Rusli menguraikan bahwa agama dan Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, hasil atau akibat dari sesuatu keadaan masyarakat dan susunan ekonomi pada suatu zaman.

(Atheis, halaman 73)

Apakah mereka itu pun sudah menjadi dogmatis seperti aku dulu terhadap dalil-dalil agama? Tidakkah timbul hasrat dalam hati mereka untuk menyusul lebih dalam soal itu? Kalau mereka suka mencemoohkan orang-orang agama dengan mengatakan bahwa orang-orang alim itu dogmatis, suka mengunyah-ngunyah dalil-dalil Al-Quran tapi tidak diselidiki benar tidaknya, kenapa mereka sendiri pun tidak mau menyelidiki lebih kritis ucapan-ucapan lain seperti Marx, Lenin, Stalin, dan lain-lain?

(Atheis, halaman 122)

Untunglah novel Atheis ini masih berimbang, belum sampai membebani pembaca, karena berada dalam balutan cerita yang memikat.

Sayangnya dalam novel Atheis ini terdapat beberapa bahasa asing yang tidak di arti-kan. Hal ini cukup mengganggu bagi pembaca yang tidak mengetahui arti dan maksud kalimat itu. Diantaranya pada kalimat:

Pada akhirnya, sampailah Rusli pada maksudnya, “Sebetulnya saya datang kesini, selain dari ingin tahu rumah Saudara dan sebagai “contra benzoek”, juga mau mengajak Saudara ke rumah saudara Kartini....”

(Atheis, halaman 91)

Lalu ada pula masalah klise, yaitu ihwal ejaan dan tanda baca yang tampaknya tak melewati proses koreksi yang ketat. Misalnya pada kalimat di bawah ini, seharusnya tidak ada tanda titik sebelum kurung tutup.

.....Vooral Nietzsche! Ya, ya Nietzsche! Heerlijk! Der Uebermensch! Nietzsche, yang berani berkata pada Sang Surya, Gij grote ster, wat zult gij betekenen zonder mij! (menepuk-nepuk dada.)

(Atheis, halaman 173)

Kata “dan” seharusnya tidak berada di awal kalimat, tetapi pada novel Atheis banyak terdapat kata “dan” diletakkan di awal kalimat. Diantaranya pada kalimat:

Dan sesudah kualami pengalaman dengan....

(Atheis, halaman 166)

....memutar stang remnya. Dan kalau tidak keburu di tegur....

(Atheis, halaman 172)

Dan tidakkah ilmu pengetahuan menunjukan, bahwa sekarang sudah banyak binatang-binatang yang sudah lampus, yang sudah tidak ada lagi jenis atau keturunannya pada zaman sekarang? Dan bukankah manusia pun...

(Atheis, halaman 235)

Kalimat di bawah ini terasa rancu, karena predikat “mengeluh” berada sebelum subjek “Hasan”, sebaiknya “Hasan mengeluh, seakan-akan ia mewakili pintu....”.

Mengeluh Hasan, seakan-akan ia mewakili pintu....

(Atheis, halaman 244)

Namun semua hal di atas terbayar oleh isi keseluruhan novel. Lewat tokoh-tokoh di novel ini, pembaca akan memetik banyak pelajaran tentang etika pergaulan seperti bagaimana cara bertamu dan menerima tamu, filsafat mengenai Tuhan, maupun ilmu agama. Termasuk juga pelajaran dari perjalanan batin Hasan yang mengantarkannya pada sebuah kesimpulan penting yang digambarkan Achdiat K. Mihardja lewat dialog ini:

“.....Tidakkah malah lebih masuk akal, bahwa Tuhan itu akan terus ada? Terus ada sebagai Pencipta Alam Semesta yang tidak turut pula lampus bersama dengan lampusnya juga manusia, seperti halnya juga dengan aku, ibu, dan Fatimah yang masih terus ada dan hidup, biarpun ayah sudah meninggal? Jadi dengan sendirinya, ucapan yang mengatakan bahwa Tuhan itu adalah bikinan manusia, tidak bisa aku terima. Tidak boleh aku terima! Ya, kenapa hal ini sampai tidak terpikirkan olehku dulu?!”

(Atheis, halaman 236)

V. Rekomendasi

Novel Atheis ini sangat menarik dan layak kita baca, isi novelnya tidak mengumbar kekerasan maupun tindakan-tindakan asusila. Oleh karena itu, bagi pelajar, mahasiswa, maupun umum yang senang mengisi waktu luangnya dengan membaca sebaiknya membaca buku karya Achdiat K. Mihardja ini. Untuk yang senang membaca novel sastra, sepertinya wajib untuk membaca buku ini.