Cengkeraman Uang Jemputan di Tanah Minang
Oleh Fitri Nuur Alimah
Karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sosial yang ada di masyarakatnya. Begitu pula dengan cerpen Uang Jemputan yang ditulis oleh Farizal Sikumbang. Cerpen ini telah berhasil dan kuat dari segi pengungkapannya dan dari segi pemilihan latar dan tokoh-tokohnya yang berasal dari wilayah Minangkabau, Sumatera Barat.
Cerpen Uang Jemputan yang ditulis oleh Farizal Sikumbang berkisah tentang Aku (penulis) dan Faraswati yang menjalin cinta, kemudian berencana untuk menikah. Akan tetapi, karena keluarga pihak calon pengantin perempuan tidak dapat menyanggupi uang jemputan sebesar Rp 10 juta yang dimintakan keluarga (mamak) lelaki, maka lamaran ditolak.
Dalam pengisahan cerpen Uang Jemputan, kita dapat merasakan kuatnya pengungkapan pengarang, baik di dalam mengolah bahasa, maupun dalam menyusun struktur cerita. Hal itu dapat kita rasakan sejak dari penggambaran latar. Tanpa pengarang melakukan penjelasan panjang lebar tentang wilayah Sumatera Barat dan masyarakatnya, pembaca mendapat gambaran mengenai wilayah dan masyarakat yang menjadi latar cerpen tersebut. Karena yang diambil pengarang adalah hal pokok dan khas dari wilayah Minangkabau, seperti jalan yang berkelok, kampung Faraswati yang dipenuhi sawah-sawah membentang, rumah yang berupa rumah panggung, abah dan amak yang memegang erat adat uang jemputan. Untuk memperkental suasana kefloresan, pengarang menyelipkan beberapa kata sapaan dari bahasa lokal, seperti uda, amak, dan abak.
Selain dalam penggambaran latar, kuatnya pengungkapan pengarang terasa pula ketika menggambarkan karakter tokoh. Pengarang lebih banyak menggunakan dialog untuk menggambarkan karakter para tokoh. Aku (penulis) memiliki watak yang patuh pada orang tua, digambarkan penulis lewat dialog batin “Aku tak bisa memutuskan apa-apa. Aku tak bisa menentang abak.” Akan tetapi dia tidak menganggap adat uang jemputan sebagai suatu keharusan, digambarkan penulis lewat dialog, “….Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu,””….Aku punya uang untuk pesta pernikahanku.”
Faraswati digambarkan sebagai seorang gadis sederhana, dia menerima apapun keputusan dari tokoh (Aku), pengarang menggambarkannya lewat kata-kata pada SMS, “Kami bukan orang kaya uda. Jadi bagaimana kami bisa memnuhi uang sebanyak itu? Aku bingung uda. Apakah kasih kita akan sampai disini? Aku tunggu jawaban uda” Abak dan amak memiliki watak yang teguh memegang adat, diantaranya lewat dialog “Di Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula gadis batak itu kemari.”, “Ini soal adat dan harga diri buyung….”, dan “Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak bagus…”. Ayah Faraswati adalah ayah yang perawakannya menakutkan tetapi sangat baik. Digambarkan lewat narasi “Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa sangat penakut. Namun setelah berbicara dengan ayahmu, nyatanya dia sangat baik.”.
Pengarang menggunakan alur sorot balik lewat kenangan tokoh Aku akan peristiwa enam bulan ke belakang. Kenangan tersebut bangkit kembali ketika tokoh Aku sedang sendirian duduk di gubuk sawah milik Abak. Dalam kenangan tersebut ada suasana ketegangan bercampur kegembiraan ketika berkenalan dengan Faraswati di bis, menjalin cinta dengan Faraswati. Kegelisahan bercampur kesedihan ketika Abak mensyaratkan bahwa uang jemputan harus sebesar sepuluh juta rupiah dan kasihnya dengan Faraswati harus berakhir di saat-saat terakhir ketika mereka telah memutuskan untuk menikah.
Temanya adalah tradisi Bajapuik di Pariaman (Sumatera Barat). Bajapuik (japuik, jemput) adalah tradisi mas kawin yang masih bertahan sampai saat ini di Pariaman (tidak di seluruh tanah Minangkabau) Sumatera Barat. Tema adat bajapuik ini sampai dengan baik kepada pembaca karena pengarang mengambil sudut pandang tokoh Aku yang merasakan sendiri kesulitan menikah dengan orang yang dicintainya karena terbelenggu oleh adat uang jemputan yang masih kental di keluarganya, sementara calon pengantin perempuan tidak dapat memenuhi uang jemputan itu. Dengan demikian, membuat pesan yang ingin disampaikan pengarang sampai kepada pembaca. Sehingga akhirnya cerpen ini dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Secara sosiologi sastra, cerpen Uang Jemputan ini dapat dijadikan gambaran mengenai kondisi dan situasi sosial budaya masyarakat Minang, Sumatera Barat. Menurut Rozalina, soal mempelai lelaki (marapulai) dijemput secara adat dalam suatu perkawinan adalah masalah lumrah dan umum terjadi dalam masyarakat di daerah lain di Minangkabau. Akan tetapi, marapulai dijemput dengan mensyaratkan adanya uang jemputan (japuik) adalah kebiasaan khas masyarakat dan merupakan ciri Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman. Sementara 13 kota/kabupaten lain di Provinsi Sumatera Barat tidak menganut tradisi demikian. Dalam cerpen ini dikisahkan bahwa tokoh Aku tinggal di
Pada mulanya, yang menjadi orang jemputan adalah orang yang secara sosial dianggap sebagai terhormat, yaitu keturunan bangsawan (bergelar atau mewarisi gelar sidi, bagindo, atau sutan). Sekarang, karena perubahan zaman, muncul "bangsawan" baru sebagai produk pendidikan. Mereka orang-orang terpelajar, berpengetahuan, dan berketerampilan dengan profesi sebagai guru, pamong praja, polisi, tentara, dokter dan sebagainya. Dalam hal pernikahan, mereka juga menjadi orang-orang jemputan. Bagaimanapun tingginya pendidikan perempuan, nilai uang jemput dan uang hilang tetap menjadi tuntutan adat. Dikisahkan dalam cerpen ini, Faraswati baru saja di wisuda dari Universitas Negeri Padang, sedangkan tokoh Aku bekerja sebagai guru pegawai negeri sipil. Karena itu, abak dari tokoh Aku meminta uang jemputan sebanyak sepuluh juta rupiah, Abak mengatakan, “Itu sudah sepantasnya. Kalau tiga juta itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan.”
Bupati Anas Malik, pada masa jabatannya tahun 1980, pernah menghimbau agar masyarakat Pariaman menghapus tradisi uang jemputan dan uang hilang. Kemudian pada tanggal 25 Januari 1990 dikeluarkan keputusan bersama antara bupati, lembaga adat, dan lembaga agama setempat untuk menghapus uang hilang. Gagasan ini sangat mengejutkan dan menimbulkan pro dan kontra. Namun yang jelas, lewat cerpen Uang Jemputan yang ditulis oleh Farizal Sikumbang pada tahun 2007 ini kita mengetahui bahwa sampai saat ini tradisi tersebut masih hidup.