Rantai Celeng, Bigau, dan Kurai diantara Tanda-tanda
oleh Fitri Nuur Alimah
“...barangkali tak akan habis baju sehelai, ia sudah menghembuskan napas penghabisan...kehilangan pendekar paling licin…Harganya lebih mahal dari harga diri Kurai sendiri…Jaga mulutmu, kau bisa mati berdiri sepulang dari sini. Enyahlah! Itu kalau kau masih ingin melihat matahari besok pagi…kujamin kau pulang dengan hidung disumpal kapas...ia belum sepenuhnya menguasai Rantai Celeng, karena tiba-tiba ia dihadang makhluk berperawakan ganjil…membuat musuh-musuh bertekuku lutut…kejatuhan durian runtuh.” (Bigau, Damhuri)
Itu merupakan beberapa penggalan kalimat dari cerpen Bigau karya Damhuri Muhammad. Cerpen itu menurut saya beraliran sufistik atau realisme magis, karena dunia yang ada dalam karya ini adalah sebuah dunia yang mungkin dianggap secara akal sehat tidak masuk dalam nalar manusia. Diceritakan di cerpen itu bahwa setelah Kurai memiliki Rantai Celeng hasil dari pertarungannya dengan raja Celeng dan Bigau membuat ia menjadi seorang yang tak hanya kebal senjata dan kebal mabuk ganja, tapi juga kebal dari mabuk minuman beralkohol.
Damhuri berusaha menggambarkan apa yang sedang terjadi di sekitarnya melalui tanda-tanda dalam cerpen itu. Menurut Peirce ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin penerima (Luxemburg, 1984: 48). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 40). Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna (Nurgiyantoro, 2002: 39).
Coba kita perhatikan apa yang Damhuri maksudkan dengan Rantai Celeng yang harganya lebih mahal dari harga Kurai sendiri, hidung disumpal kapas, menjaga mulut, pendekar paling licin, membuat musuh-musuh bertekuk lutut, kejatuhan durian runtuh. Apa yang ingin disampaikan Damhuri lewat cerpennya ini? Apa maksud kalimat-kalimat itu?
Ilmu yang membahas tanda-tanda dan lambang-lambang dalam kehidupan sehari-hari adalah semiotik. Adapun semiotik adalah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (sèmeion, bahasa Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (Luxemburg, 1984: 44).
Jadi, yang menjadi tanda-tanda dan lambang-lambang dalam cerpen itu diantaranya adalah “durian runtuh”, “bertekuk lutut”, “mati berdiri”, dan “hidung disumpal kapas”. Bila kata-kata tadi dianalisis secara semiotik, maka maksud dari durian runtuh, bukanlah dalam arti sebenarnya. “Durian runtuh” sebagai pertanda mendapatkan rezeki yang tidak disangka-sangka dan berlimpah. Berkat Kurai, polisi-polisi menjadi takut untuk mengganggu kebun ganja ilegal, sehingga para penanam mendapat untung yang berlimpah. Sedangkan makna “bertekuk lutut” dalam cerpen ini bukanlah dalam arti sebenarnya bertekuk lutut, tetapi disini bertekuk lutut adalah takut, sehingga tidak menggagu lagi. “Mati berdiri” memiliki makna mati karena terkejut. “Hidung disumpal kapas” dan tidak melihat matahari besok pagi sebagai pertanda meninggal.
Menurut saya, Damhuri lewat cerpennya itu ingin menyindir segelintir orang yang masih berpegang dengan barang-barang keramat. Mereka masih menggantungkan hidupnya dengan benda-benda keramat tanpa mau bekerja keras. Seperti Candung yang berambisi memiliki Rantai Celeng agar musuh-musuhnya bertekuk lutut dan agar kekuasaannya bertambah.
Di akhir cerita, Kurai akan memberikan Rantai Celeng yang tertanam di pahanya kepada Bigau. Sebuah akhir yang tidak disangka-sangka.
Inilah gambaran menurut saya tentang makna secara semiotik dari cerpen Bigau karya Damhuri Muhammad.
Daftar Pustaka:
__________. (2006). Semiotika: Tanda dan Makna. [online]. Tersedia: http://fahri99.wordpress.com/2006/10/14/semiotika-tanda-dan-makna/ [11 September 2008]
__________. (2008). Semiotika [1] Semiologi. [online]. Tersedia: http://www.aman.web.id/2008/07/26/semiotika-1-semiologi/511/ [11 September 2008]
Damono, Sapardi D. 1983. Kesusasteraan
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra.
Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Sumiyadi, Drs. (2008). Puisi dan Pembelajarannya. [online]. Tersedia: http://xpresisastra.blogspot.com/2008/06/05/puisi-dan-pembelajarannya/[11 September 2008]
Teeuw, Prof Dr A. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra.