Srintil Oh.. Srintil
oleh Fitri Nuur Alimah
Pada umumnya, drama monolog hanya dilakukan seorang diri, tetapi ketika saya menonton monolog Srintil yang diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk di Gedung PKM UPI 27 Mei 2008 kemarin, saya melihat sesuatu yang berbeda dengan ketika saya menonton monolog Perempuan Menuntut Malam bulan Maret lalu. Pada monolog Srintil, Srintil (Opey Sophia) tidak berbicara terus-menerus seorang diri, sedangkan pada monolog Perempuan Menuntut Malam, Rieke Diah Pitaloka, Niniek L. Karim, maupun Maryam Supraba bermonolog seorang diri selama drama tersebut. Sutradara Monolog Srintil yaitu Gusjur Mahesa telah berani berkreasi dengan menampilkan monolog dengan tidak hanya seorang pemain di atas panggung, tapi ia juga menampilkan lima orang lainnya yang berfungsi sebagai pengiring musik acapella, penari, dan penyanyi tembang-tembang jawa untuk menguatkan suasana setiap Srintil berubah emosinya menjadi senang, sedih, ataupun gundah. Mereka juga merangkap sebagai pemain tambahan, seperti menjadi Rasus, Warta, Darsun, Kartareja, Nyai Kartareja, Juminten, dan penduduk setempat untuk menguatkan jalan cerita. Hal semacam ini dapat memudahkan penonton untuk mengapresiasi drama monolog Srintil ini, walaupun belum pernah membaca novelnya.
Meskipun artistik hanya menggunakan properti seadanya yaitu koran dan bangku, Gusjur Mahesa dan asisten sutradara Yussak Anugerah telah berhasil menampakan kesuraman yang dirasakan seorang wanita gila Srintil. Konsep longser yang digunakan pun mampu membuat emosi penonton terlibat secara total dan teraduk-aduk mengikuti jalan cerita dalam drama tersebut, misalnya ketika Srintil memberi upah kepada Rasus, Warta dan Darsun yaitu dengan memberi ciuman di pipi agar mereka mau mengiringi Srintil menari lagi, Srintil mencium secara acak dua orang penonton yang berada di kanan dan kiri panggung. Saya pun sempat mengalami kejutan seperti itu, Srintil mendekati saya dan berteriak menanyakan dimanakah Rasus berada sambil memegang kaki saya. Pemain Srintil benar-benar total dalam memainkan perannya, misalnya adegan ketika dia harus menari ronggeng ataupun ketika dia bercinta dengan Rasus. Satu kejadian di pertengahan monolog yang benar-benar tidak disangka-sangka oleh para penonton adalah ketika para pemain kecuali Srintil mengumpulkan uang dari para penonton. Ide seperti itu memang luar biasa, patut diacungi dua jempol.
Alur yang digunakan adalah flashback. Monolog dimulai ketika Srintil sudah gila. Mengapa diambil adegannya ketika Srintil sudah gila? Menurut sutradaranya karena saat Srintil menjadi gila, ceritanya menjadi lebih kompleks, seperti yang kita tahu orang gila tidak dapat membedakan waktu, mereka tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya imajinasi atau bayang-bayang.
Pengarang Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari tak segan menyelipkan romantika Cinderella. Misalnya, ketika Srintil gundah akan menempuh upacara bukak kelambu kepada seseorang yang memberi harga paling tinggi. Ia pun “selamat” karena liang daranya diserahkan kepada Rasus yang dicintai dan mencintainya.
Satu hal yang patut dicatat dari pertunjukkan siang itu adalah kemampuan Srintil (Opey Sophia) memvisualisasikan Ronggeng Dukuh Paruk dalam waktu satu jam. Memang ada beberapa dialog yang mengarah ke perkataan dan tindakan kotor atau cabul, tapi tak sedikitpun mengurangi rasa kagum saya pada monolog ini.