Kamis, 16 September 2010

Pergelaran Sastra Indonesia

Jeritan Realitas Sosial


oleh : Fitri Nuur Alimah


Kemarin, sekarang, dan esok

bersatu dalam kalbu

menepis senja yang murung

dan awan-awan hitam yang berarak

selalu bersama menyongsong dunia

Bulan dan bintang hingga matahari esok

Cuplikan puisi Persatuan adalah Kekuatan karya Dr. Tetet Cahyati, MM. itulah yang menjadi salah satu puisi yang di apresiasikan pada pergelaran apresiasi sastra bertajuk KARASA (Karya Apresiasi Sastra) di Griya Seni Popo Iskandar (GSPI), Bandung 17 Desember 2007. Sebuah ruangan di GSPI tersebut disulap menjadi arena pementasan apresiasi sastra seperti rampak puisi, dramatisasi puisi, musikalisasi puisi, dan pembacaan puisi.

Dimulai dengan sambutan dari Nenden Lilis, seorang cerpenis, penyair, yang juga dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) membuat suasana menjadi hangat sore itu. Puisi yang pertama di apresiasikan adalah puisi Mesin Tik karya Ratna Ayu. Apresiasi puisi ini benar-benar membuat bulu kuduk berdiri, ada suasana magis yang tercipta ketika semua pemain berteriak, “.....Uhh...payah mesin tik ini sudah rusak rupanya// Kenapa huruf-huruf itu selalu gagah?// menunjukan nyali/ membayangi si keci// Lagi-lagi si kecil selalu ditindas// Mereka begitu pongah mendikte si kecil//”. Mesin tik dianalogikan sebagai kehidupan, kaum atas diibaratkan sebagai jari-jari yang mengetik, sedangkan kaum bawah diibaratkan sebagai tombol-tombol pada ketikan. Tombol-tombol ini seringkali dipencet, ditindas, dan diperbudak oleh jari-jari besar. Narasinya cantik, jernih, meskipun isinya pedas mengiris.

Tidak seperti puisi kita yang dinyanyikan cenderung berkesan sendu bahkan suram, musikalisasi puisi Pedagang Asongan karya Dr. Tetet Cahyati, MM. tampak berbeda, ada nada semangat yang mengalun, meskipun puisi ini berkisah tentang kebobrokan negeri ini. Pemain lakon yang notabene mahasiswa berhasil disulap menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, bahkan gelandangan pada musikalisasi itu. Musikalisasi ini berhasil membuat penonton tersadar dengan keadaan sekelilingnya, bahwa banyak orang-orang yang di sekitar kita yang sangat membutuhkan kasih sayang dan pertolongan.

Tak hanya itu, penampilan dari Yopi Setia Umbara sebagai salah satu bintang tamu yang membacakan dua buah puisi yang berjudul Aku Mencintaimu Sepuluh Ribu Tahun karya Dian Hardiana dan Bulan Maryam karya Yopi sendiri menambah semarak acara KARASA. Selain itu puisi yang berjudul Cermin karya Sapardi Djoko Damono, Dzikir Kerinduan karya Rudi Ramdani, dan Setelah Orang-orang membuang duka karya Rudi Ramdani berhasil dimusikalisasikan oleh ASAS ZENITH dengan menawan.

Hima Satrasia pun turut memeriahkan acara ini dengan menampilkan Desti dan Usman yang membacakan dua buah puisi yang berjudul Goyang Dombret karya Matdon dan Kami Tahu Asal Jadi Kau karya Sutardji Calzoum Bachri. Desti mampu menjiwai puisi yang dibacakannya, sesekali dia melenggak-lenggokan tubuhnya mengikuti irama gendang yang dibawakan Usman.

Tak kalah dengan penampilan-penampilan sebelumnya, Bapak Sumiadi yaitu dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia turut memeriahkan acara ini dengan membacakan empat buah puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Batu, Herman, Perjalanan Kubur, dan Walau. Menurutnya puisi-puisi yang dibacakan ini adalah puisi yang sering ia bacakan ketika masih mahasiswa dulu. Penampilannya telah menyihir penonton, sehingga tak ada waktu sedetik pun bagi penonton untuk melewatkan aksinya.

Dramatisasi puisi Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang karya Taufik Ismail merupakan puncak dari rangkaian acara KARASA. Dramatisasi puisi ini bercerita tentang seorang guru yang sedang mengajarkan murid didiknya mengarang, tetapi muridnya tidak dapat mengembangkan karangan mereka, mereka hanya dapat membolak-balikkan susunan kata “Kritik itu boleh asal membangun”. Ini merupakan cerminan sekaligus kritikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia yang hanya mendikte tanpa membebaskan muridnya untuk mengekspresikan dirinya. Akhirnya pelajar-pelajar Indonesia hanya dapat meniru tanpa dapat menciptakan sesuatu yang baru.

Bagi penonton yang umumnya mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia, pergelaran itu menjadi hiburan tersendiri di sela-sela aktivitas sehari-hari mereka. Selain itu, mereka juga dapat lebih mencintai sastra serta menikmati apresiasi sastra. Salut untuk mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra dik C semester tiga angkatan 2006, apresiasi sastranya bener-bener karasa!